Jakarta – Sejak tahun 2013, telah terjadi tren peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia. Baik itu peningkatan dalam jumlah maupun kekuatannya.

Berdasarkan catatan Badan Metorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tahun 2013 setidaknya terjadi gempa bumi sebanyak 4.234 kali. Kemudian kejadian gempa bumi secara berturut-turut meningkat menjadi 4.434 kali pada ahun 2014. Tahun 2015 ada 5.299 kali, 2016 sebanyak 5.464 kali dan 7.169 kali pada tahun 2017.

Lewat tahun 2017, lonjakan aktivitas gempa bumi meningkat cukup tajam, yakni menjadi 11.920 kali pada tahun 2018. Tahun 2019 aktivitas masih diatas 11.000, yakni 11.588 kali. Meski di tahun 2020, kejadian gempa bumi menurun menjadi 8.258 kali. Namun jumlah tersebut masih diatas rata-rata kejadian gempa bumi tahunan di Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati ingin memperkuat sistem peringatan dini tsunami yang atau Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Usaha yang dilakukan, salah satunya BMKB baru-baru ini meluncurkan EWS Radio Broadcaster dan aplikasi Sirens for Rapid Information on Tsunami Alert (SIRITA).

“BMKG sendiri terus berupaya melakukan penyempurnaan sistem peringatan dini tsunami dengan melibatkan pakar, akademisi, perguruan tinggi, dan asosiasi keilmuan guna mewujudkan zero victim,” ungkap Dwikorita Karnawati dalam Webinar Indonesian Cable Based Tsunameter 2021.

Lanjutnya, tantangan Indonesia, kata Dwikorita tidak hanya tsunami yang diakibatkan fenomena tektonik atau kegempaan. Namun juga tsunami non tektonik yang dipicu oleh longsoran lereng gunung ke laut atau longsor lereng pantai.

BMKG menyambut positif atas adanya Cable Based Tsunameter (InaCBT) yang diinisiasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dimana saat ini, InaCBT berada dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kehadiran teknologi tersebut akan memperkuat sistem peringatan dini tsunami Indonesia.

“Kehadiran InaCBT akan semakin memperkuat sistem peringatan dini tsunami yang sudah ada. Karena berperan sebagai perangkat deteksi percepatan gempa bumi dan anomali tekanan air laut yang mengindikasikan terjadinya tsunami di lokasi-lokasi potensial sumber-sumber tsunami,” katanya.

Sistem dan sensor-sensor pendeteksi tersebut tepasang dan ditempatkan pada jaringan kabel bawah laut. Menurutnya, InaCBT idealnya terintegrasi dalam jaringan observasi pendeteksian tsunami dalam system InaTEWS yang beroperasi saat ini. Sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk deteksi tsunami non-tektonik.(red)*

Komentar